Lautan manusia memadati Alun-alun Utara hingga
pintu gerbang Masjid Gedhe untuk mengikuti prosesi Grebeg Maulud dengan membawa
Gunungan sebagai puncak acara Sekaten yang telah berlangsung selama satu
bulan.
Grebeg adalah prosesi adat sebagai simbol
sedekah dari pihak Keraton Yogyakarta kepada masyarakat berupa
gunungan. Keraton Yogyakarta setiap tahunnya selalu
mengadakan upacara grebeg sebanyak tiga kali pada hari besar Islam, yaitu
Grebeg Syawal pada Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar bertepatan pada Hari Raya
Idul Adha dan Grebeg Maulud yang lebih populer Grebeg Sekaten pada peringatan
Hari Lahir Nabi Muhammad SAW.
Kata grebeg berasal dari kata gumrebeg yang
memiliki filosofi sifat riuh, ribut dan ramai. Namun ada sumber lain yang
mengatakan “Garebeg” beda arti
dengan “Grebeg”. “Garebeg” berarti diiringi oleh rombongan banyak orang.
Sedangkan “Grebeg” berarti digropyok.. Tidak ketinggalan pula kata gunungan memiliki filosofi
dan simbol dari kemakmuran yang kemudian dibagikan kepada rakyat.Gunungan di
sini adalah representasi dari hasil bumi (sayur dan buah) serta jajanan
(rengginang). Pada Grebeg Sekaten, gunungan yang dijadikan simbol kemakmuran
ini mewakili keberadaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler (pria), Gunungan Estri
(perempuan), serta Gepak dan Pawuhan. Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem
yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain batik biru
tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah lingkarannya. Semua
abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker.
Sebagai titik awal kirab Grebeg untuk dibawa
menuju halaman depan Masjid Gedhe. Tembakan salvo menjadi tanda dimulainya
kirab. Dari Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju
Pagelaran di alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan
melewati pintu regol.
Sebelum memasuki acara puncak 'rebutan gunungan' serah terima pengawalan
gunungan dilakukan dari prajurit Wirobrojo ke prajurit Bugis yang
berseragam hitam-hitam dengan topi khas pesulap serta ke prajurit Surakara yang
berpakaian putih-putih. Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede
untuk didoakan oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan. Selesai doa diucapkan, gunungan pun
sontak direbut oleh masyarakat yang datang dari seluruh penjuru Jogja. Memang
ada kepercayaan dari masyarakat bahwa barang siapa
yang mendapat bagian apa pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah.
Kegiatan 'ngrayah' atau berebut mengambarkan sebuah filosofi bahwa manusia
dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan harus berani melakukan persaingan dan
permasalahan hidup harus dihadapai
Bukan untuk dihindari.
Selain prosesi 'ngrayah' terdapat pula ciri khas dari Grebeg Sekaten
ini, yaitu telur merah yang akrab disebut 'ndog abang' yang ditusuk dengan
bambu dan dihiasi kertas sebagai bunga-bunga untuk mempercantiknya. Saya sempat
bertanya arti filosofi telur merah kepada ibu penjual tersebut. Menurut Ibu
Wagirah, telur adalah bentuk permulaan kehidupan, sedangkan bambu yang menusuk
telur tersebut perlambang bahwa semua kehidupan di bumi ini memiliki poros
yaitu Gusti Alloh. Warna merah artinya keberuntungan, rejeki, berkahdan
keberanian.
0 komentar: