Negara Hukum Indonesia

The rule of law, rechstsstaat, atau Negara hukum, adalah suatu istilah yang multi tafsir. Maksud dari multi tafsir adalah banyak rumusan-rumusan atau penafsiran-penafsiran apa yang dimaksud dengan  The rule of law itu sendiri. Rumusan-rumusan atau pemahaman-pemahaman mengenai Negara hukum ini berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan asas negara hukum yang dianut ataupun karena kondisi masyarakat dan waktu perumusan itu. Perbedaan rumusan-rumusan itu biasanya juga diikuti perbedaan penggunaan istilah. Seperti  The rule of law, istilah ini digunakan oleh negara Anglo Sekon misalnya Inggris dan Amerika serikat. Istilah rechstsstaat ini digunakan para ahli hukum Eropa Kontinental, misalnya jerman dan Belanda.
Pengertian secara sederhana, Negara hokum adalah Negara yang segala kegiatan atau tindakan pemerintaha maupun rakyatnya didasarkan pada hokum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pemerintah dan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Demikian pula rakyat harus tunduk pada hokum. Apabila tindakan rakyat melanggar hokum, maka dapat di pertanggungjawabkan secara hokum.
Negara hokum itu sangat berkaitan erat dengan konsep Negara hokum. Konsep Negara yang kita kenal seperti konsep  rechstsstaat, konsep the rule of law, konsep nomocracy, konsep laissez-faire, konsep Socialist Legalit, ataupun konsep lain yang tidak mungkin semua dijabarkan satu persatu.
Konsep the rule of law menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utama yaitu
a.      Supremasi hukum atau supremacy of law;
b.     persamaan dihadapan hukum atau equality before the law; dan
c.      konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the contitution based on individual rights.
Rechtsstaat adalah State Governed by Law atau State Ruled by Law.
Rechtsstaat  di Perancis memiliki 2 unsur (Paul Scholten) :
a.      Grondrechten (hak-hak dasar)
b.     Scheiding van machten (pemisahan kekuasaan)
Rechtsstaat  di Jerman mengandung 4 unsur (tipe negara hukum formil-F.J. Stahl):
a.      Grondrechten (perlindungan hak asasi manusia)
b.     Scheiding van machten (pemisahan kekuasaan)
c.      Wetmatigheid van het bestuur (pemerintah berdasarkan UUD atau UU)
d.     Administratieve rechtspraak (peradilan tata usaha negara)
Nomocracy adalah istilah dalam bahasa yunani yang berasal dari kata “nomos” dan “cratos”. “Nomos” dalam bahasa yunani berarti norma dan “cratos” berarti kekuasaan. Sederhananya Nomokrasi berarti kekuasaan negara yang dikendalikan oleh norma-norma (Negara Hukum). Bangsa Yunani telah lama mengenal konsep Nomokrasi. Konsepsi tersebut hampir sama dengan konsep kedaulatan hukum dimana hukum merupakan panglima dalam melaksanan pemerintahan negara. Sehingga pemimpin tertinggi dalam sebuah negara adalah hukum itu sendiri.
Azas ‘Laissez faire laissez passĂȘ’, yaitu tiap-tiap warga negara supaya diberi kebebasan sebesar-besarnya untuk berusaha bagi kemakmuran dirinya, sedang negara janganlah terlalu banyak mencampuri urusan-urusan para warga negara. Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, tapi semua itu bersandar pada sumbangan dari sistem pasar.
Konsep socialist legality adalah bahwa hukum diletakkan di bawah sosialisme, hukum sebagai alat untuk mencapai sosialisme. Hak perseorangan dpt disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan. Karakteristik/ciri/prinsip yang nampak dalam konsep ini adalah
a.      didasarkan pada nilai-nilai sosial bersama, jadi hak-hak individu dikesampingkan guna kepentingan sosial-komunal, sekalipun masih patut mendapat perlindungan namun tujuan utamanya adalah kepentingan sosial-komunal.
b.     negara tidak hanya sekuler, yakni memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan, namun negara dalam konsep ini tidak mengenal adanya agama (kebebasan beragama yang semu, dan kebebasan propaganda anti agama)
c.      Hukum adalah alat mencapai sosialisme
Konsep ini biasanya dianut Negara komunis.
Setelah dipaparkan panjang lebar mengenai Negara hokum dan beberapa konsep-konsepnya, lalu yang di pertanyakan, apakah Negara kita, tanah air tercinta Indonesia merupakan Negara Hukum?
Dengan mengkaji UUD 1945 kita dapat menemukan jawaban untuk menjawab pertanyaan di atas. Di dalam pasal 1 ayat (3) amandemen di tegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hokum.”
Berdasarkan pasal di atas sangat jelas bahwa tanah air kita ini adalah Negara Hukum. Maka dari itu dalam menjalankan tugasnya tindakan pemerintah dan rakyat harus berdasarkan hokum, tidak boleh berbuat sewenang-wenang, sesuka hati atau menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berlandaskan konsep-konsep yang di jelaskan di atas, Negara hokum Indonesia menggunakan konsep yang mana? Kalau sekedar memprediksi mungkin Negara kita menggunakan konsep Negara hokum Eropa continental, karena dilihat faktanya Negara kita pernah dijajah Negara Eropa yaitu belanda. Namun dugaan konsep negara hokum kita konsep negara hukum Eropa continental( Rechtsstaat) itu salah. Memang benar kita dijajah bangsa belanda, namun tidak harus juga kita meniru mutlak Negara penjajah. Apabila dikaji secara mendalam pengaruh konsep Rechtsstaat itu sebenarnya mempunyai pengaruh yang besar untuk ide Negara hokum tanah air kita. Alasan mengapa demikian mirip dengan predikisi diatas, yaitu karena kita pernah di jajah bangsa Belanda.
Pengaruh konsep Rechtsstaat ini Nampak jelas dalam penjelasan UUD 1945(sebelum dihapus dari sistematika UUD sesudah diubah) yang menegaskan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hokum( Rechtsstaat).” Selain itu unsure-unsur konsep The rule of law juga mempengaruhi, seperti antara lain unsure “ kedudukan yang sama di depan hokum” yang dicantumkan pada pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Lalu bagaimanakah konsep Negara hokum kita? Oemar Seno Adji menjelaskan bahwa Negara Indonesia memiliki cirri-ciri khas Indonesia. Pancasila harus diangkat sebagai dasar pkok dan sumber hokum, sehingga Negara hokum Indonesia dapat dinamakan Negara hokum pancasila. Ciri-ciri khusus yang membedakan negara hukum pancasila dengan faham negara hukum lainnya dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut:
a.      Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan;
  1. Tidak mengenal sekulerisme mutlak;
  2. Kebebasan beragama dalam arti positif, setiap orang diharuskan beragama;
  3. HAM bukanlah titik sentral, tapi keserasian hubungan antara pemerintah & rakyat lebih diutamakan.
  4. Demokrasi disusun dalam bingkai permusyawaratan perwakilan.
Pada dasarnya, konsep negara hukum yang diadopsi oleh negara hukum Pancasila (Indonesia) adalah negara kesejahteraan (welfare state). Ajaran negara hukum inilah yang kini dianut oleh sebagian besar negara-negara didunia.
Dengan seiring berjalannya waktu hingga sekarang ini Negara Indonesia adalah Negara hokum, apakah sudah memenuhi prinsip-prinsip Negara hokum itu sendiri?
Menurut hasil Simposium di Jakarta tahun 1966, pada awal berdirinya Orde Baru menghasilkan ciri-ciri negara hokum sebagai berikut:
a.      Pengakuan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hokum, social, ekonomi dan kebudayaan.
b.     Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apa pun juga.
c.      Adanya pembatasan kekuasaan
d.     Asas legalitas
Berdasarkan hasil symposium di atas dapat digunakan sebagai indicator, apakah Indonesia sudah memenuhi prinsip Negara hokum. Untuk lebih jelasnya dapat kita kupas satu persatu di setiap prinsip.

a.     Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
      Suatu Negara bisa dikatakan memenuhi syarat Negara hokum apabila ada pengkuan dan perlindungan HAM. Maka dari itu Negara kita juga memberikan pengakuan terhadap HAM, bahkan penerapannya hampir di berbagai aspek seperti dalam bidang politi, hokum, ekonomi, social, budaya dan juga bidang pendidikan. Ditegaskan dalam UUD 1945 BAB X A pasal 28 A sampai J. di dalam pasal itu dikupas tuntas aspek-aspek yang merupakan Hak Asasi Manusia. Ditinjau dari segi peraturannya masalah HAM sudah patut diacungi jempol. Namun dalam prakteknya kasus-kasus pelanggaran HAM belum dapat ditangani dengan rapi. Korban-korban pelanggaran HAM belum sepenuhnya atau masih banyak yang belum dapat perlindungan. Kasus-kasus HAM dalam penanganannya kurang lincah dan bertele-tele, sehingga suatu kasus HAM lama penyelesaiannya. Sebagai contohnya kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oknum aparat Bimob dan Securiti PT Sorik Masmining kepada masyarakat Naga Juang Kabupaten Madinan Sumatera Utara yang terjadi April tahun lalu sampai sekarang belum terselesakan hingga menimbulkan unjuk rasa para mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal (IMA Madina), Selasa (2/4/2013) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Sumatera Utara. Kasus ini membuktikan bahwa kinerja peradilan HAM kurang sigap dan tanggap.

b.     Peradilan yang bebas dan tidak memihak
      Peradilan adalah pelaksanaan proses penegakan hokum sebagai cabang kekuasaan kehakiman. Agar dapat menjalankan fungsinya dalam menegakkan keadilan, peradilan harus bebas dan tidak memihak. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan.” Dari pasal ini dapat diartikan bahwa hakim tidak boleh dipengaruhi siapapun juga baik kepentingan jabatan atau ekonomi. Namun dalam prakteknya ada saja kasus yang menyangkut peradilan yang menyalahi aturannya. Seperti kasus terbaru ini kasus hakim Syarifudin yang diduga menerima suap dari seorang kurator (Puguh Wirawan) terkait kasus kepailitan PT Sky Camping Indonesia (SCI) dimana Syarifuddin bertindak sebagai hakim pengawas. Kasus kasus seperti ini membuktikan bahwa hakim kita belum bisa mengemban amanahnya.

c.      Pembatasan Kekuasaan
      Orang yang berkuasa cenderung menyalahgunakan kekuasaanya. Maka dari itu di suatu penyelenggaraan Negara harus ada pembatasan kekuasaan. Pembatasan tersebut dilakukan membuat aturan hokum yang menentukan kewenangan penyelenggaraan. Penyelenggara Negara tidak boleh melakukan sesuatu yang melebihi kewenangan yang telah diberikan kepadanya. Pembatasan kekuasaan di Indonesia dibagi tiga meliputi lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif. Ketiga cabang ini saling mengawasi dan menghimbau. Dalam UUD 1945 hal itu terwujud dalam pemisahan kekuasaan badan legislative dipegang DPR, badan Eksekutif presiden dan badan yudikatif oleh MA dan MK. Dalam UUD 1945 kwenangan-kewenangan ketiga badan itu sudah dijabarkan secara rinci. Walaupun sudah dipisah-pisah kelembagaanya, ketentuan-ketentuan sudah tersurat di UUD 1945,tetapi  tetap masih ada penyalahgunaan kekuasaan didalamnya. Seperti baru baru ini masalah DPR yang tidak menghadiri rapat, namun hanya mencantumkan tandatangan daftar hadir, jadi daftar hadir rapat itu tercantum banyak yang hadir, namun faktanya yang hadir di ruangan rapat tidak ada 1/3 nya.

d.     Asas Legalitas
      Segala tindakan pemerintah harus didasarkan peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Demikian pula hokum terhadap seseorang harus didasarkan pada aturan hokum yang sudah ada sebelum perbuatan seseorang tersebut dilakukan. Dalam UUD 1945, diatur batas-batas wewenang lembaga-lembaga Negara. Misalnya pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, sekalipun Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintah, segala tindakannya tetap dibatasi oleh ketentuan UUD 1945.
Asas  legalitas  menghendaki  bahwa  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  yang merumuskan  tindak  pidana  tidak  dapat  diberlakukan  secara  surut  (retroaktif). Pemberlakuan  secara  surut  merupakan  suatu  kesewenang-wenangan,  yang  berarti pelanggaran  hak  asasi  manusia.  Seseorang  tidak  dapat  dituntut  atas  dasar  undang-undang  yang  berlaku  surut.  Namun  demikian,  dalam  prakteknya  penerapan  asas legalitas  ini  terdapat  penyimpangan-penyimpangan.  Sebagai  contoh,  kasus Bom Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus  tersebut, asas  legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas  retroaktif.
Jika  ditinjau  lebih  jauh,  penerapan  asas  retroaktif  ini  dikarenakan  karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus  tersebut yang sangat berbeda dengan  jenis kejahatan biasa.
Sejalan  dengan  itu,  menurut  Prof.  Dr.  Romli  Atmasasmita,  prinsip  hukum  non-retroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia  bukan  pelanggaran  biasa,  oleh  karenannya  prinsip  non-retroaktif  tidak bisa dipergunakan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupkan Negara hokum. Konsep Negara hokum Indonesia adalah Pancasila. Dilihat dari sistemnya Indonesia sudah memenuhi prinsip-prinsip Negara hokum, yaitu meliputi
a.      Pengakuan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hokum, social, ekonomi dan kebudayaan,
b.     Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apa pun juga.
c.      Adanya pembatasan kekuasaan
d.     Asas legalitas

Dimana prinsip-prinsip itu sudah tercantum dalam UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya negara hokum Indonesia masih memprihatinkan. Masih banyak kasus-kasus yang mengenai pelanggaran-pelanggaran prinsip-prinsip negara hokum.  Makadari itu masih perlu banyak pembenahan-pembenahan dan koreksi untuk negara hokum tanah air kita.
oleh: Fariha Dwi Etminingsih