The rule of law, rechstsstaat, atau
Negara hukum, adalah suatu istilah yang multi tafsir. Maksud dari multi tafsir
adalah banyak rumusan-rumusan atau penafsiran-penafsiran apa yang dimaksud
dengan The rule of law itu
sendiri. Rumusan-rumusan atau pemahaman-pemahaman mengenai Negara hukum ini
berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan asas negara hukum yang dianut ataupun
karena kondisi masyarakat dan waktu perumusan itu. Perbedaan rumusan-rumusan
itu biasanya juga diikuti perbedaan penggunaan istilah. Seperti The rule of law, istilah ini digunakan
oleh negara Anglo Sekon misalnya Inggris dan Amerika serikat. Istilah rechstsstaat
ini digunakan para ahli hukum Eropa Kontinental, misalnya jerman dan Belanda.
Pengertian
secara sederhana, Negara hokum adalah Negara yang segala kegiatan atau tindakan
pemerintaha maupun rakyatnya didasarkan pada hokum untuk mencegah adanya
tindakan sewenang-wenang dari pemerintah dan untuk mengatur kehidupan
masyarakat. Demikian pula rakyat harus tunduk pada hokum. Apabila tindakan
rakyat melanggar hokum, maka dapat di pertanggungjawabkan secara hokum.
Negara hokum itu sangat berkaitan erat dengan konsep Negara hokum.
Konsep Negara yang kita kenal seperti konsep rechstsstaat, konsep the rule of law,
konsep nomocracy, konsep laissez-faire,
konsep Socialist
Legalit, ataupun konsep lain yang tidak mungkin semua dijabarkan satu
persatu.
Konsep the rule of law
menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utama yaitu
a. Supremasi
hukum atau supremacy of law;
b. persamaan
dihadapan hukum atau equality before the law; dan
c.
konstitusi yang didasarkan atas
hak-hak perorangan atau the contitution based on individual rights.
Rechtsstaat adalah
State Governed by Law atau State Ruled by Law.
Rechtsstaat di Perancis memiliki 2 unsur (Paul Scholten) :
a. Grondrechten
(hak-hak dasar)
b. Scheiding
van machten (pemisahan kekuasaan)
Rechtsstaat di Jerman mengandung 4
unsur (tipe negara hukum formil-F.J. Stahl):
a. Grondrechten
(perlindungan hak asasi manusia)
b. Scheiding
van machten (pemisahan kekuasaan)
c. Wetmatigheid
van het bestuur (pemerintah berdasarkan UUD atau UU)
d. Administratieve
rechtspraak (peradilan tata usaha negara)
Nomocracy adalah
istilah dalam bahasa yunani yang berasal dari kata “nomos” dan “cratos”.
“Nomos” dalam bahasa yunani berarti norma dan “cratos” berarti kekuasaan.
Sederhananya Nomokrasi berarti kekuasaan negara yang dikendalikan oleh
norma-norma (Negara Hukum). Bangsa Yunani telah lama mengenal konsep Nomokrasi.
Konsepsi tersebut hampir sama dengan konsep kedaulatan hukum dimana hukum
merupakan panglima dalam melaksanan pemerintahan negara. Sehingga pemimpin
tertinggi dalam sebuah negara adalah hukum itu sendiri.
Azas
‘Laissez faire laissez passĂȘ’, yaitu tiap-tiap warga negara supaya diberi
kebebasan sebesar-besarnya untuk berusaha bagi kemakmuran dirinya, sedang
negara janganlah terlalu banyak mencampuri urusan-urusan para warga negara. Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah
melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk
menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, tapi
semua itu bersandar pada
sumbangan dari
sistem pasar.
Konsep
socialist legality adalah bahwa hukum diletakkan di bawah sosialisme, hukum
sebagai alat untuk mencapai sosialisme. Hak perseorangan dpt disalurkan kepada
prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan. Karakteristik/ciri/prinsip
yang nampak dalam konsep ini adalah
a. didasarkan
pada nilai-nilai sosial bersama, jadi hak-hak individu dikesampingkan guna
kepentingan sosial-komunal, sekalipun masih patut mendapat perlindungan namun
tujuan utamanya adalah kepentingan sosial-komunal.
b.
negara tidak hanya sekuler, yakni
memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan, namun negara dalam konsep
ini tidak mengenal adanya agama (kebebasan beragama yang semu, dan kebebasan
propaganda anti agama)
c. Hukum
adalah alat mencapai sosialisme
Konsep ini biasanya dianut Negara komunis.
Setelah dipaparkan panjang lebar mengenai
Negara hokum dan beberapa konsep-konsepnya, lalu yang di pertanyakan, apakah
Negara kita, tanah air tercinta Indonesia merupakan Negara Hukum?
Dengan mengkaji UUD 1945 kita dapat menemukan
jawaban untuk menjawab pertanyaan di atas. Di dalam pasal 1 ayat (3) amandemen
di tegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hokum.”
Berdasarkan pasal di atas sangat jelas bahwa
tanah air kita ini adalah Negara Hukum. Maka dari itu dalam menjalankan
tugasnya tindakan pemerintah dan rakyat harus berdasarkan hokum, tidak boleh
berbuat sewenang-wenang, sesuka hati atau menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berlandaskan konsep-konsep yang di jelaskan di
atas, Negara hokum Indonesia menggunakan konsep yang mana? Kalau sekedar
memprediksi mungkin Negara kita menggunakan konsep Negara hokum Eropa
continental, karena dilihat faktanya Negara kita pernah dijajah Negara Eropa
yaitu belanda. Namun dugaan konsep negara hokum kita konsep negara hukum Eropa
continental(
Rechtsstaat) itu salah. Memang benar kita dijajah
bangsa belanda, namun tidak harus juga kita meniru mutlak Negara penjajah.
Apabila dikaji secara mendalam pengaruh konsep Rechtsstaat itu sebenarnya mempunyai pengaruh yang besar untuk ide
Negara hokum tanah air kita. Alasan mengapa demikian mirip dengan predikisi
diatas, yaitu karena kita pernah di jajah bangsa Belanda.
Pengaruh konsep Rechtsstaat ini Nampak jelas dalam
penjelasan UUD 1945(sebelum dihapus dari sistematika UUD sesudah diubah) yang
menegaskan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hokum( Rechtsstaat).” Selain itu unsure-unsur
konsep The rule
of law juga mempengaruhi, seperti antara lain unsure “ kedudukan yang sama di
depan hokum” yang dicantumkan pada pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Lalu bagaimanakah konsep Negara hokum kita?
Oemar Seno Adji menjelaskan bahwa Negara Indonesia memiliki cirri-ciri khas
Indonesia. Pancasila harus diangkat sebagai dasar pkok dan sumber hokum,
sehingga Negara hokum Indonesia dapat dinamakan Negara hokum pancasila. Ciri-ciri
khusus yang membedakan negara hukum pancasila dengan faham negara hukum lainnya
dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut:
a.
Negara hukum Pancasila bertitik pangkal
dari asas kekeluargaan dan kerukunan;
- Tidak mengenal sekulerisme mutlak;
- Kebebasan beragama dalam arti
positif, setiap orang diharuskan beragama;
- HAM bukanlah titik sentral, tapi
keserasian hubungan antara pemerintah & rakyat lebih diutamakan.
- Demokrasi disusun dalam bingkai
permusyawaratan perwakilan.
Pada dasarnya,
konsep negara hukum yang diadopsi oleh negara hukum Pancasila (Indonesia)
adalah negara kesejahteraan (welfare state). Ajaran negara hukum
inilah yang kini dianut oleh sebagian besar negara-negara didunia.
Dengan seiring
berjalannya waktu hingga sekarang ini Negara Indonesia adalah Negara hokum, apakah sudah
memenuhi prinsip-prinsip Negara hokum itu sendiri?
Menurut hasil Simposium di Jakarta tahun 1966,
pada awal berdirinya Orde Baru menghasilkan ciri-ciri negara hokum sebagai
berikut:
a.
Pengakuan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hokum, social, ekonomi dan kebudayaan.
b.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
sesuatu kekuasaan atau kekuatan apa pun juga.
c.
Adanya pembatasan kekuasaan
d.
Asas legalitas
Berdasarkan
hasil symposium di atas dapat digunakan sebagai indicator, apakah Indonesia
sudah memenuhi prinsip Negara hokum. Untuk lebih jelasnya dapat kita kupas satu
persatu di setiap prinsip.
a.
Pengakuan
dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Suatu Negara bisa dikatakan memenuhi syarat Negara hokum
apabila ada pengkuan dan perlindungan HAM. Maka dari itu Negara kita juga
memberikan pengakuan terhadap HAM, bahkan penerapannya hampir di berbagai aspek
seperti dalam bidang politi, hokum, ekonomi, social, budaya dan juga bidang
pendidikan. Ditegaskan dalam UUD 1945 BAB X A pasal 28 A sampai J. di dalam pasal
itu dikupas tuntas aspek-aspek yang merupakan Hak Asasi Manusia. Ditinjau dari
segi peraturannya masalah HAM sudah patut diacungi jempol. Namun dalam
prakteknya kasus-kasus pelanggaran HAM belum dapat ditangani dengan rapi. Korban-korban
pelanggaran HAM belum sepenuhnya atau masih banyak yang belum dapat
perlindungan. Kasus-kasus HAM dalam penanganannya kurang lincah dan
bertele-tele, sehingga suatu kasus HAM lama penyelesaiannya. Sebagai contohnya
kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oknum
aparat Bimob dan Securiti PT Sorik Masmining kepada masyarakat Naga Juang
Kabupaten Madinan Sumatera Utara yang terjadi April tahun lalu sampai sekarang
belum terselesakan hingga menimbulkan unjuk rasa para mahasiswa yang
tergabung dalam Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal (IMA
Madina), Selasa (2/4/2013) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD
Sumatera Utara. Kasus ini membuktikan bahwa kinerja peradilan HAM kurang sigap
dan tanggap.
b.
Peradilan yang bebas dan tidak
memihak
Peradilan adalah pelaksanaan proses
penegakan hokum sebagai cabang kekuasaan kehakiman. Agar dapat menjalankan
fungsinya dalam menegakkan keadilan, peradilan harus bebas dan tidak memihak.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan.” Dari pasal ini dapat diartikan
bahwa hakim tidak boleh dipengaruhi siapapun juga baik kepentingan jabatan atau
ekonomi. Namun dalam prakteknya ada saja kasus yang menyangkut peradilan yang
menyalahi aturannya. Seperti kasus terbaru ini kasus hakim Syarifudin yang
diduga menerima suap dari
seorang kurator (Puguh Wirawan) terkait kasus kepailitan PT Sky Camping
Indonesia (SCI) dimana Syarifuddin bertindak sebagai hakim pengawas. Kasus
kasus seperti ini membuktikan bahwa hakim kita belum bisa mengemban amanahnya.
c.
Pembatasan
Kekuasaan
Orang yang berkuasa cenderung
menyalahgunakan kekuasaanya. Maka dari itu di suatu penyelenggaraan Negara harus
ada pembatasan kekuasaan. Pembatasan tersebut dilakukan membuat aturan hokum
yang menentukan kewenangan penyelenggaraan. Penyelenggara Negara tidak boleh
melakukan sesuatu yang melebihi kewenangan yang telah diberikan kepadanya.
Pembatasan kekuasaan di Indonesia dibagi tiga meliputi lembaga legislative,
eksekutif dan yudikatif. Ketiga cabang ini saling mengawasi dan menghimbau.
Dalam UUD 1945 hal itu terwujud dalam pemisahan kekuasaan badan legislative
dipegang DPR, badan Eksekutif presiden dan badan yudikatif oleh MA dan MK.
Dalam UUD 1945 kwenangan-kewenangan ketiga badan itu sudah dijabarkan secara
rinci. Walaupun sudah dipisah-pisah kelembagaanya, ketentuan-ketentuan sudah
tersurat di UUD 1945,tetapi tetap masih
ada penyalahgunaan kekuasaan didalamnya. Seperti baru baru ini masalah DPR yang
tidak menghadiri rapat, namun hanya mencantumkan tandatangan daftar hadir, jadi
daftar hadir rapat itu tercantum banyak yang hadir, namun faktanya yang hadir
di ruangan rapat tidak ada 1/3 nya.
d.
Asas
Legalitas
Segala tindakan pemerintah harus
didasarkan peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Demikian pula
hokum terhadap seseorang harus didasarkan pada aturan hokum yang sudah ada
sebelum perbuatan seseorang tersebut dilakukan. Dalam UUD 1945, diatur
batas-batas wewenang lembaga-lembaga Negara. Misalnya pasal 4 ayat (1) UUD 1945
menegaskan bahwa presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, sekalipun Presiden merupakan pemegang
kekuasaan pemerintah, segala tindakannya tetap dibatasi oleh ketentuan UUD
1945.
Asas legalitas
menghendaki bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana
tidak dapat diberlakukan secara surut
(retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan
suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran
hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat
dituntut atas dasar undang-undang yang
berlaku surut. Namun demikian, dalam
prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom Bali,
kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam
kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan
memberlakukan asas retroaktif.
Jika ditinjau
lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini
dikarenakan karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut
yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan biasa.
Sejalan dengan
itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita,
prinsip hukum non-retroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran
pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan
pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip
non-retroaktif tidak bisa dipergunakan.
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupkan Negara hokum. Konsep
Negara hokum Indonesia adalah Pancasila. Dilihat dari sistemnya Indonesia sudah
memenuhi prinsip-prinsip Negara hokum, yaitu meliputi
a.
Pengakuan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hokum, social, ekonomi dan kebudayaan,
b.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
sesuatu kekuasaan atau kekuatan apa pun juga.
c.
Adanya pembatasan kekuasaan
d.
Asas legalitas
Dimana prinsip-prinsip itu sudah
tercantum dalam UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya negara hokum Indonesia
masih memprihatinkan. Masih banyak kasus-kasus yang mengenai
pelanggaran-pelanggaran prinsip-prinsip negara hokum. Makadari itu masih perlu banyak
pembenahan-pembenahan dan koreksi untuk negara hokum tanah air kita.
oleh: Fariha Dwi Etminingsih